Matius 25 : 14 - 30
Perikop atau unit ini berhubungan dengan unit sebelum
dan juga sesudahnya. Di dalam penulisan Kitab Injil kita
percaya bahwa penulis memiliki alur tertentu pada waktu
dia menulis blok demi blok. Kita tidak harus mengertinya
secara kronologis, sebab kalau kita mengertinya secara
kronologis kita akan mengalami kesulitan karena keempat
Injil meletakkan urutan peristiwa-peristiwa berbeda satu sama
lain. Sehingga yang lebih penting mengerti bagaimana atau
mengapa mereka menyusun alur (flow) tersebut sehingga kita
dapat menangkap alur message yang hendak disampaikan
waktu kita membaca blok demi blok. Perikop ini ada di dalam
satu bagian dari Injil Matius yaitu kotbah tentang akhir jaman
(pasal 24-25). Dan dialam konteks itulah Matius menuliskan
perumpamaan tentang talenta ini. Perumpamaan tentang
talenta yang menjelaskan tentang Kerajaan Sorga.
Tuhan Yesus tidak memberikan definisi-definisi, tanda-tanda
lahiriah, keterangan tentang lokasinya (Luk 17:20-21),
tetapi Dia menjelaskan pengertian Kerajaan Sorga dalam
perumpamaan. Di dalam Matius pasal 13:13 ditulis mengapa
Yesus berkata-kata dalam perumpamaan, bukan agar orang
lebih mudah untuk memahaminya, melainkan menggenapi
nubuat Yesaya, di mana orang yang melihat sesungguhnya
tidak melihat, dan yang mendengar tidak mendengar dan
tidak mengerti. Hanya bagi mereka yang Tuhan berkenan saja
perumpamaan itu diberikan arti penjelasannya. Berbahagialah
kita yang menggumulkan perngertian sebagaimana yang
Tuhan Yesus ajarkan.
Kita akan membahas beberapa point disini, yaitu gambaran
tentang Kerajaan Sorga, yang digambarkan seperti seorang
Tuan yang bepergian ke luar negeri. Tuan itu adalah Tuhan
sendiri, yaitu Yesus Kristus. Dia memanggil hamba-hambaNya
dan mempercayakan hartaNya kepada mereka. Ada yang
diberi 5 talenta, ada yang diberi 2 talenta, ada yang diberi
1 talenta. Sampai pada bagian ini kita bisa bertanya-tanya,
“Mengapa Tuhan membeda-bedakan, ada yang 5 talenta,
ada yang 2 talenta, ada yang 1 talenta?” Tuhan seperti
kurang adil. Tapi sebenarnya waktu kita membaca pada ayat
ke-15 ada suatu kalimat yang penting, yaitu “masing-masing
menurut kesanggupannya”. Yang kesanggupannya 5 diberi 5,
yang kesanggupannya 2 diberi 2, yang kesanggupannya 1
diberi 1. Tuhan bukan tidak adil, sebaliknya Dia tahu takaran
yang tepat. Di dunia yang berdosa ini kita mendapati orang-
orang yang begitu sempit hatinya, orang yang terus-menerus
digerogoti iri-hati atas kelebihan orang lain.
Mungkin sekali hamba yang ke-3 ini iri karena talentanya
hanya satu, yang paling sedikit di antara ketiga hamba
yang diceritakan di sini. Di dalam unit ini komentar yang
paling panjang ditujukan kepada hamba yang ke-3. Hamba
yang pertama dan ke-2 hanya dicatat dengan singkat. Apa
sebenarnya yang menyebabkan dia berlaku seperti itu? Apa
yang menyebabkan dia tidak menjalankan dan mengerjakan
talentanya dengan setia? Yaitu karena konsepnya yang
salah tentang Tuhan. Konsep atau gambar tentang Tuhan
yang rusak dan hancur, itulah yang menyebabkan dia tidak
TAlenta & Iman
15
Newsletter Gereja
Reformed Injili
Indonesia, Singapura
Kebaktian Pagi
pk 10.00. Tempat: The Alexcier,
237 Alexandra Road #03-11 & 12,
S159929 (Sekretariat GRIIS).
Stasiun MRT terdekat: Redhill MRT Station
Kebaktian Sore
pk 17.00. Tempat: True Way Presbyterian Church
156B Stirling Road, S148947
Gereja berada tepat di samping Queenstown MRT Station
Web GRII-Singapura : http://www.grii-singapore.org Saran & masukan: agape@grii-singapore.org
gape
Bagi sebagian orang, Tahun Baru merupakan langkah
permulaan baru. Setelah melewati segala tantangan,
kesulitan dan keberhasilan di tahun yang lampau.
Sebagian kita lalu memasuki tahun baru dengan
sekumpulan harapan, rencana dan perkiraan serta proyeksi
akan situasi kondisi di dalam perjalanan tahun yang baru
ini agar boleh memperoleh kesempatan dan pencapaian
yang lebih baik dibandingkan waktu-waktu sebelumnya.
Sekalipun kita bisa menyusun rencana dan harapan,
namun hari di depan dan perjalanan di depan belum
yang ada bisa memberitahukan dan memastikannya bagi
kita. Bagaimanakah seharusnya kita menapaki perjalanan
panjang setahun kita di depan?
Dalam Kitab Keluaran 33 kita bertemu dengan kisah Tuhan
Allah dan Musa yang begitu indah. Musa meminta tiga
hal kepada Tuhan Allah dalam rangka Israel memasuki
perjalanan panjang menuju ke Tanah Perjanjian. Pertama,
Musa hanya meminta Tuhan Allah memberitahukan jalan-
Nya (Keluaran 33:12-13). Kedua, Musa memohon Tuhan
yang membimbing seluruh perjalanan (Keluaran 33: 15),
Ketiga, Musa memohon diberikan kesempatan melihat,
mengalami kebaikan dan menyaksikan kemuliaan Tuhan
sebagai tanda kehadiran serta perkenan Tuhan Allah atas
umat-Nya.
Belajar dari Musa, kiranya tiga hal ini boleh menjadi
seluruh doa dan kerinduan setiap kita di dalam kita
mengikuti dan menggenapkan rencana Tuhan Allah atas
diri kita masing-masing di dalam perjalanan baru di tahun
2009 ini!
Selamat Tahun Baru!
sanggup mengerjakan bagiannya. Tidak sanggup menerima
keberadaan dirinya yang hanya menerima satu talenta dan
bermalas-malasan, takut dan akhirnya memendam talenta
itu. Kita boleh berpikir bahwa konsep yang benar itu tidak
penting, pengertian yang benar tidak perlu, pengajaran yang
solid tidak dibutuhkan, yang penting bekerja giat bagi Tuhan,
semangat yang menyala-nyala, menarik jiwa sebanyak-
banyaknya. Tetapi melalui pembacaan firman Tuhan kita
melihat bahwa konsep tidak hanya penting tetapi bahkan
menjadi penentu dan penggerak apa yang seseorang akan
lakukan (bandingkan dengan kisah kehidupan Paulus sebelum
dia bertobat). Konsep yang salah akan menghancurkan
kehidupan seseorang (dan banyak orang lain yang turut
dipengaruhinya). Tidak peduli berapa besar semangat yang
dimilikinya.
Hamba yang ke-3 menjadi hamba yang tidak mengerjakan
apa-apa karena konsepnya tentang Tuhan adalah jahat. Dia
berpikir bahwa Tuhan itu mau cari untung dari kehidupannya,
Dia hanya beri modal lalu orang lain harus bekerja keras
membanting tulang dan kemudian tinggal datang untuk
menagih serta dengan bunganya. Suatu perasaan paranoia
yang kuat muncul dalam dirinya: ia takut diperalat, takut
dimanfaatkan, takut rugi, seperti
ada banyak orang yang menghitung
untung-rugi ketika melayani Tuhan!
Dia takut menjadi hamba yang tidak
dikenal, yang tersisih, yang terpojok,
yang akan kalah jika dibandingkan
dengan hamba yang pertama dan
kedua. Takut tidak ada pujian, tidak
ada pengakuan. Takut, takut, takut ...
Dia juga berpikir bahwa Tuannya tidak
akan segera datang dan karena itu
memiliki kesempatan dan waktu yang
cukup panjang sehingga dia tidak
perlu menjalankan bagiannya dengan
segera.
Sebaliknya hamba yang pertama
dan kedua mengerjakan dengan
setia talenta yang dipercayakan
kepada mereka, karena pengertian
mereka, konsep mereka tentang Tuhan
baik dan benar. Bukankah Tuan ini
sangat mampu untuk bekerja seorang
diri, menjalankan seluruh talenta yang dimilikiNya tanpa
harus mempercayakannya kepada orang lain? Namun di
sinilah terletak keagungan Tuan itu. Dan kedua hamba ini
menyadari ketidak-layakan diri mereka yang dipercaya oleh
Tuhan. Tuhan, Yang Mahakuasa, mempercayai kita, orang
yang tidak layak dipercaya! Tuhan mengambil resiko tinggi
ketika Dia mempercayai manusia. Bukankah kita sendiri
sulit percaya kepada orang yang kurang mampu daripada
kita? Kita mahir dan menguasai bidang tertentu, lalu kita
mencoba menyerahkan perkerjaan – yang kita sudah sangat
ahli itu – kepada orang lain, dan kita menyaksikan orang
lain mengerjakannya dengan banyak kekeliruan. Bagaimana
tanggapan kita? “Tahu begini, lebih baik saya kerjakan
sendiri” adalah respon yang wajar. Tuhan sangat punya
alasan untuk bertindak seperti itu, tapi di dalam kesabaran,
kepercayaan dan cinta kasihNya Dia tetap mempercayakan
pekerjaan itu kepada hamba-hambaNya, saudara dan
saya. Ya, kita yang sebetulnya sangat berpotensi untuk
gagal. Demikian pula ketiga hamba tersebut yang adalah
manusia yang lemah, rapuh dan rentan yang bisa saja
berlaku tidak setia dan bermalas-malasan, tetapi Tuhan tetap
mempercayakan hartaNya kepada mereka.
Kedua hamba yang pertama ini menanggapinya dengan
perasaan hormat karena menyadari bahwa itu adalah suatu
hak istimewa, a privilege. Itulah yang membedakan ketika
mereka mengerjakan pekerjaan Tuhan, mereka menyambutnya
sebagai satu kesempatan emas yang tidak dimiliki setiap
orang. Seorang pengkhotbah pernah menanamkan prinsip
pelayanan bahwa di dalam Gereja tidak seorangpun datang
untuk menolong dan membantu, melainkan untuk belajar
dan untuk melayani, berkorban bagi Tuhan. Dua hamba
yang pertama mengerti dengan jelas apa konsep melayani.
Kepercayaan yang dari Tuhan ditanggapi dengan sikap hati
yang mengucap syukur, menyadari sebagai kemuliaan besar
yang diberikan oleh Tuhan.
Ada orang yang percaya bahwa hidupnya dibagi-bagi
dalam beberapa tahap, misalnya tahap bermain, lalu tahap
belajar, ada tahap bekerja, tahap membangun rumah
tangga, tahap menuai karir yang sukses, dan tahap terakhir
adalah tahap pelayanan, tahap religius. Yang religius itu toh
akan datang juga, sekurang-kurangnya 15 menit sebelum ajal
menjemput. Pernah diceritakan ada
seorang yang datang ke sebuah toko
buku, mencari sesuatu untuk temannya
yang sedang berbaring di rumah
sakit. Dia bertanya kepada penjual
apa ada bacaan untuk orang sakit.
Penjual itu bertanya, “Apa Saudara
perlu sesuatu yang religius?” Dia
menjawab, “Tidak, tidak, teman saya
itu sudah agak baikan.” Demikianlah
orang-orang yang bermimpi bahwa
mereka selalu mempunyai waktu
dan kesempatan. Akan tetapi kedua
hamba ini justru memiliki kualitas
hidup yang berbeda, karena mereka
menyadari bahwa waktu yang
mereka miliki sesungguhnya sangat
singkat. Banyak hamba Tuhan yang
terus melayani walaupun usia mereka
sudah lanjut, karena ada kesadaran
eskatologis yang mendalam, itulah
yang patut kita teladani. Sebagian
dari kita mungkin masih muda, kita
punya cukup alasan untuk menunda-nunda dan bermalas-
malasan dalam mengerjakan talenta yang Tuhan percayakan.
Ketika kesadara eskatologis itu datang, kita akan mengecap
semacam relativitas waktu dalam hidup kita. Bukankah
ayat ke-19 mencatat “Lama sesudah itu pulanglah tuan
hamba-hamba itu ...” namun kedua hamba yang pertama
menangkapnya sebagai waktu yang sangat singkat, karena
itulah mereka segera pergi dan menjalankan talenta yang
dipercayakan.
Seseorang yang memiliki konsep relativitas waktu,
hidupnya pasti berbeda. Bagaimana seandainya Tuhan
memberitahukan kepada kita bahwa umur kita hanya sisa 1
hari saja, apa yang akan kita lakukan? “Marilah kita makan
dan minum sepuasnya sebab besok kita mati?” Atau kita
berkata “Saya akan penginjilan sebanyak-banyaknya, akan
bagikan traktat kepada setiap orang yang saya jumpai,
memberi sedekah pada orang-orang miskin (karena selama
ini saya tidak pernah melakukan semuanya itu).” Tetapi itu
justru menunjukan bahwa hidup kita tidak ada integritas
karena menunggu sampai Tuhan memberitahukan batas umur
hidup kita, baru kita bertobat.
Seperti kutipan yang terkenal dari kehidupan Augustinus ketika
dia ditanya “Apa yang akan kamu lakukan jika Tuhan datang
esok hari?” Dia menjawab dengan tenang, “Saya akan tetap
menanam jagung.” Dia tidak mendadak ‘bertobat’ dan lalu
mempersembahkan seluruh hidupnya bagi Tuhan, melainkan
dia tetap bekerja seperti biasanya, seperti sehari-hari yang
selalu dia jalankan. Bagaimana seseorang bisa menjawab
seperti itu? Itu hanya mungkin terjadi pada seseorang yang
setiap hari dihidupi sebagaimana hari itu adalah hari yang
terakhir didalam hidupnya! Itulah kesadaran eskatologis yang
sangat tinggi, yang membuat dia terus bekerja dengan setia
seumur hidupnya, bekerja bagi Tuhan seperti kedua hamba
yang dicatat di sini.
Mari kita perhatikan kontras antara kedua
hamba yang pertama dengan yang ketiga.
Hamba yang pertama dan kedua dipuji
sebagai hamba yang baik dan setia,
sementara hamba yang ketiga disebut jahat
dan malas. Baik dikontraskan dengan jahat,
dan setia dikontraskan dengan malas. Kita
jangan berpikir bahwa orang yang tidak
setia adalah mereka yang murtad, yang
menyangkali imannya, menghujat Tuhan
dlsb. Tidak demikian, melainkan seringkali
dalam bentuk yang lebih sederhana, yaitu
kemalasan. Ketidak-setiaan menyatakan dirinya dalam bentuk
kemalasan! Tuhan mengenal hati kita sedalam-dalamnya.
Ketika kita tidak maksimal untuk Tuhan, sesungguhnya
di situ kita berlaku tidak setia kepada Dia. Hamba yang
ke-3 ini sebenarnya tidak terlalu jahat bukan, dia ‘hanya’
menyimpan, dia tidak memboroskan miliknya seperti kasus
‘anak yang terhilang’. Dia bahkan tidak berani ‘menyentuh’
talenta yang diberikan kepadanya karena sikap hormat yang
begitu tinggi, sikap sakralisasi yang keliru. Kita kaum Injili
seringkali disebut juga dengan kaum konservatif, sebuah
istilah yang bisa berarti positif ataupun negatif. Positif jika itu
dimengerti sebagai satu sikap harta warisan yang berharga
dari masa lampau, misalnya tulisan orang-orang kudus yang
sudah mendahului kita, tafsiran-tafsiran Kitab Suci yang
baik yang sudah digumulkan oleh mereka yang mengasihi
Tuhan. Namun menjadi sikap yang keliru dan negatif jika
sikap itu menjadi satu sikap mental yang menerima tanpa
mengelolanya lagi, setuju dan mengaminkan tanpa bergumul
secara pribadi, makan tanpa mengunyah dan mencernanya.
Bahaya semacam demikian mengancam gereja-gereja Tuhan,
entah kita menyadarinya atau tidak.
Orang kristen yang sejati tidak pernah berhenti bergumul
sepanjang umur hidupnya, demikian kita teladani dari kedua
hamba yang setia ini. Mereka bergumul, mereka tidak tinggal
diam, mereka mengolah dan mereka mengerjakannya.
Mereka terbentur dengan realita kehidupan sehari-hari,
namun mereka tidak melarikan diri darinya, mereka mungkin
sekali mengalami luka-luka dalam penderitaan yang harus
mereka lalui, ada kalanya mereka rugi dan dirugikan, akan
tetapi mereka tetap setia.
Sebaliknya hamba yang ke-3 hanya ‘berdiam diri’,
memendam, mengawetkan hartanya, dia tidak melakukan
apa-apa karena takut salah, di dalam dirinya tidak ada iman
dan kasih yang mengalahkan ketakutan. Ketika tuan itu kembali
dan mengadakan perhitungan, hamba ini mengembalikan
dengan penuh percaya diri satu talenta yang masih utuh,
tetapi Tuhan sesungguhnya berhak menerima dua talenta.
Tetapi orang ini berpikir, “Diberi segini ya kembali segini!”
Inilah keadaan stagnasi/kemandegan rohani. Stagnasi
rohani, umur bertambah tapi pengenalan firman Tuhan tidak
bertambah, cinta kasih tidak bertambah, kerendahan hati
tidak bertambah, kerelaan untuk berkorban juga tidak, tetap
sama, dulu, sekarang dan selamanya, tetap tidak berubah,
padahal itu adalah tempat Yesus Kristus, bukan bagian kita.
Dalam kehidupan ini kita harus belajar untuk mengenal talenta
kita, sebab Tuhan pasti memberikan talenta kepada setiap
orang. Setelah mengenal talenta itu kita harus bertanggung-
jawab kepada Tuhan, kita harus mengetahui di mana tempat
kita. Bukankah banyak orang mengalami kesulitan dalam
berjemaat karena tidak mengetahui tempat mereka. Orang
demikian cenderung suka kritik orang lain
dan tidak membangun apa-apa (kita tidak
mengatakan bahwa kritik selalu salah,
namun keliru jika ini merupakan kompensasi
kelemahan kita yang belum menemukan
apa yang harus dikerjakan). Maka dari itu
kita harus menemukan diri kita di hadapan
Tuhan, sehingga tidak menjadi orang-orang
seperti itu. Alangkah indahnya jika setiap
orang kristen menemukan talentanya dan
kemudian segera pergi menjalankannya
dengan setiap sampai mati.
Di dalam kehidupan sehari-hari kita pun dapat melayani
dengan menyatakan etos kerja Kristiani. Kita merindukan ada
kebangunan mandat budaya di mana orang-orang kristen
menerangi dan menggarami dunia yang sudah berdosa. Kita
banyak mengalami tantangan, tetapi bagaimana di tengah-
tengah kehidupan seperti itu kita tetap bersaksi sebagai
seorang kristen yang diperkenan Tuhan. Mengenali tempat
pelayanan di mana kita berbuah dan menjadi berkat bagi
banyak orang. Kesalahan pada abad pertengahan, yang
lalu didobrak oleh para reformator, karena jemaat atau ‘kaum
awam’ hanya hadir sebagai penonton, pengamat yang tidak
terlibat. Jikalau orang-orang kristen menjadi seperti itu, kita
sebenarnya sedang mengulangi kesalahan yang terjadi
pada masa lampau. Luther mengangkat satu pengertian
yang penting mengenai imamat umum semua orang percaya.
Semua orang percaya berfungsi sebagai imam, dan karena
itu semuanya sakral dan kudus, semuanya hamba Tuhan,
harus melayani sebagai hamba Tuhan, pelayan Allah yang
hidup. Bagaimana kita bisa menemukan diri kita sebagai
hamba Allah jika kita tidak menemukan talenta kita dan tidak
menggarap talenta itu di dalam kehidupan kita sehari-hari?
Kiranya Tuhan menolong kita untuk mengenal di mana tempat
kita, apa talenta kita dan dengan setia menjalankan apa
yang Tuhan sudah percayakan dalam diri kita sampai suatu
saat Tuhan akan berkata kepada kita dengan suatu vonis
yang tidak bisa lagi digagalkan oleh siapapun, “Baik sekali
perbuatanmu itu, hai hambaKu yang baik dan setia; engkau
telah setia dalam perkara kecil, A ku akan memberikan
kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar.
Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.”
Sola Gratia, Soli Deo Gloria!
Pdt. Billy Kristanto
Orang kristen
yang sejati tidak
pernah berhenti
bergumul
sepanjang umur
hidupnya
Masalah pernikahan dan persoalan hidup manusia
terlalu banyak dan kompleks adanya. Dalam pernikahan
sendiri, begitu banyak aspek yang bisa menjadi
permasalahan sehari-hari seperti masalah ekonomi,
tanggung jawab, seksual, relasi dengan sanak saudara.
Karena tiap pasangan berbeda, maka masalah-masalah
di atas juga menimbulkan perbedaan-perbedaan yang
semakin banyak lagi. Masalah krisis keuangan yang
dialami oleh keluarga A misalnya, pasti mempunyai
dampak, solusi, dan ruang lingkup yang berbeda
dengan masalah keuangan yang dialami oleh keluarga
B. Bahkan masalah keuangan yang dialami oleh keluarga
A di bulan Juni, adalah masalah yang berbeda dengan
masalah keuangan keluarga A di bulan Oktober.
Begitu banyaknya masalah-masalah pernikahan sehingga
masalah-masalah ini sangat sulit untuk diklasifikasikan,
apalagi diberikan formula mengenai jalan pemecahannya.
Pada kenyataannya, masalah-masalah dalam pernikahan
tidak pernah berdiri sendiri, melainkan selalu saling
terkait dengan aspek lain dari masalah yang berbeda.
Karena itu, pembahasan akan dibatasi dalam linkup nilai
yang paling sering dan krusial, yang akan dihadapi oleh
pasangan-pasangan Kristen.
Persoalan Identitas: “Pernikahan Seperti Apa
yang Sebenarnya Didambakan?
Masalah identitas pernikahan merupakan masalah yang
paling sering terjadi namun paling sering diabaikan.
Masalah identitas merupakan masalah bagaimana
mempertemukan ‘individu yang menikah’ dengan ‘ideal
pernikahan (seperti yang dikonsepkan gereja)’. Masalah
ini timbul karena kegagalan pihak yang menikah dalam
menjawab apa arti pernikahan dan pernikahan seperti
apa yang didambakan. Akibatnya, banyak pasangan
yang memberikan jawaban yang bersifat dangkal
ataupun egosentrik. Kehidupan pernikahan akhirnya
hanya menjadi sebuah fase di mana dua orang individu
tinggal dalam satu atap dan melakukan kegiatan
secara berbeda dibanding dengan ketika mereka belum
menikah. Akibatnya, pernikahan hanya menjadi suatu
pelembagaan hidup bersama tanpa identitas yang
jelas.
Kondisi yang berbahaya ini hanya disadari saat krisis
melanda. Persoalan yang sebenarnya sudah ditabur
benihnya karena gagal menemukan identitas pernikahan.
Kasus di mana salah satu atau kedua pihak menjadi tidak
setia, suka berjudi, minum minuman keras, sebenarnya
hanya bentuk manifestasi dari tidak siapnya pribadi-
pribadi yang menikah dalam menghadap